Rabu, 16 Februari 2011

Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia

Pendapat Implementasi Hak Asasi Manusia:


Ideologi yang dianut oleh suatu negara pada dasarnya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di negara tersebut, termasuk penerapan hak-hak asasi masyarakatnya. Negara-negara Barat, seperti Amerika, dengan paham Liberalismenya memungkinkan masyarakatnya untuk melakukan segala sesuatu dengan sebebas-bebasnya (peran swasta lebih dominan), sedangkan peran pemerintah sangat kecil dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut berdampak pada kondisi kehidupan masyarakatnya yang “kebablasan” pada beberapa sisi, seperti pergaulan bebas, persaingan bebas, dan sebagainya yang banyak menimbulkan masalah-masalah baru bagi sebagian masyarakat. Imbas lainnya dari paham Liberalisme adalah terhimpitnya kaum ekonomi lemah karena para pemilik modal (kaum kapitalis) memiliki kebebasan dalam melakukan investasi di berbagai sektor usaha. Paham lainnya yang berkembang di negara-negara Timur (seperti di Uni Soviet dan RRC pada masa lalu) adalah komunisme. Dampak yang ditimbulkan oleh ideologi tersebut adalah berkebalikkan dengan apa yang ditimbulkan oleh Liberalisme. Hak-hak masyarakat diakui, namun tidak sepenuhnya dipedulikan oleh pemerintah. Peran pemerintah sangat dominan dalam mengatur berbagai aspek kehidupan. Pada praktik kehidupan bernegara, pemerintah bersikap otoriter dan tidak peduli terhadap aspirasi rakyat. Hal tersebut berdampak pada pembungkaman suara rakyat dan pers, sehingga mencukur demokrasi yang seharusnya menjadi hak rakyat.

Berdasarkan sejarah yang pernah terjadi di negara-negara Barat dan Timur, maka jelas bahwa masyarakat akan mengalami dampak negatif jika hak-hak asasi setiap individu dibebaskan tanpa batas, namun masyarakat juga akan mengalami dampak negatif jika hak-hak asasi setiap individu terlalu dikekang. Berbeda dengan negara-negara tersebut, Indonesia menganut ideologi Demokrasi Pancasila, sehingga implementasi hak asasi manusia di Indonesia seharusnya berjalan dengan baik sesuai dengan sifat-sifat dasar dari paham Demokrasi Pancasila. Menurut ideologi tersebut, hak-hak asasi setiap rakyat Indonesia pada dasarnya diimplementasikan secara bebas, namun tetap dibatasi oleh hak-hak asasi orang lain. Jadi, ideologi ini menawarkan kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan hak asasi manusia. Namun hal tersebut perlu dikaji lebih dalam, sebab ideologi yang dianut oleh negara Indonesia tercinta ini belum tentu dapat diterapkan oleh rakyat tersebut dengan benar sepenuhnya.

Sejak era reformasi berbagai produk hukum dilahirkan untuk memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak sipil dan politik. Antara lain, Pancasila (sila ke-2), UUD 1945 pasal 28A sampai pasal 28J, Ketetapan MPR Nomor XVII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU Pers, UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa), UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Otonomi Daerah, UU ratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dan UU ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial.

Dari sisi politik, selama kurang lebih 12 tahun terakhir ini, rakyat Indonesia telah menikmati kebebasan politik yang luas. Empat kebebasan dasar, yaitu hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan, yang vital bagi bekerjanya sistem politik dan pemerintahan demokratis telah dinikmati oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Melalui berbagai media hampir semua lapisan rakyat Indonesia sudah dapat mengekspresikan perasaan dan pendapatnya tanpa rasa takut atau was-was seperti pada zaman Orde Baru. Rakyat Indonesia relatif bebas mengkomunikasikan gagasan dan informasi yang dimilikinya. Rakyat menikmati pula hak atas kebebasan berkumpul. Pertemuan-pertemuan rakyat, seperti, konferensi, seminar, rapat-rapat akbar tidak lagi mengharuskan meminta izin penguasa seperti di masa Orde Baru. Kelompok-kelompok masyarakat, seperti, buruh, petani, seniman, dan lain sebagainya yang ingin melakukan demonstrasi atau unjuk rasa di depan kantor atau pejabat publik tidak memerlukan izin, tapi sebelum menjalankan unjuk rasa diwajibkan untuk memberitahu polisi.

Rakyat Indonesia telah menikmati juga kebebasan berorganisasi. Rakyat tidak hanya bebas mendirikan partai-partai politik sebagai wahana untuk memperjuangkan aspirasi politiknya. Rakyat bebas pula untuk mendirikian organisasi-organisasi kemasyarakatan, seperti serikat petani, serikat buruh, perkumpulan masyarakat adat, dan lain sebagainya. Perwujudan hak atas kebebasan berorganisasi ini sangat vital bagi upaya rakyat untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Selain itu, tumbuhnya organisasi-organisasi rakyat dari bawah ini akan memperkuat masyarakat sipil yang diperlukan bagi berlangsungnya sistem politik dan pemerintahan yang demokratis.

Selama kurang lebih dua belas tahun terakhir ini rakyat Indonesia telah pula menikmati hak politiknya, yaitu hak untuk turut serta dalam pemerintahan di mana rakyat berperan serta memilih secara langsung para anggota DPR dan DPRD pada tahun 1999 dan tahun 2004. Pada tahun 2004 untuk pertama kali rakyat memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kotamadya, rakyat dapat memilih langsung Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sebelum ini belum pernah ada presiden perwujudan hak atas kebebasan politik dalam sejarah Indonesia.

Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum. Sebagai negara hukum, seharusnya negara ini tidak hanya menjamin kebebasan warganya dalam hukum, politik, dan pemerintahan, lebih dari itu, negara ini juga harus menjamin konsistensi penegakkan hak asasi manusia. Penegakkan hak-hak asasi manusia saat ini memang sudah diatur dalam beberapa hukum tertulis. Tetapi dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, penegakkan hak asasi manusia masih dirasa belum konsisten. Konsistensi penegakkan hak-hak asasi manusia di Indonesia dapat diukur secara baik dengan menilai fakta-fakta sejarah yang pernah terjadi di negara ini dari sudut pandang yang objektif.

Kemajuan selama era reformasi di Indonesia selama ini tampaknya masih belum memberikan catatan yang begitu memuaskan, khususnya di bidang penegakkan hak-hak asasi manusia (HAM). Pertanyaan ini memang mendesak untuk dijawab, terutama karena ada banyak pihak berpendapat bahwa proses reformasi ternyata mengalami kemandekan.

Jika diamati dari sudut pandang yang objektif, tampaknya upaya pengusutan pelanggaran HAM berat di Indonesia selama ini masih mengalami kemacetan. Masyarakat pun bisa menilai sendiri bagaimana upaya pengusutan Peristiwa Trisakti-Semanggi I-Semanggi II, Peristiwa Wamena-Wasior, Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, dan Peristiwa Talangsari 1989 yang berkali-kali dikembalikan oleh pihak Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM. Pihak Kejaksaan Agung menyatakan tak bisa melakukan penyidikan karena belum ada penetapan pengadilan HAM ad hoc oleh parlemen. Ketidakmampuan penuntasan masalah HAM dengan adanya impunitas bagi para pelakunya telah menimbulkan pertanyaan menyangkut keseriusan pemerintah.

Selain itu, kebebasan politik yang membuka jalan bagi terpenuhinya empat kebebasan dasar yang mencakup hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan, belum dinikmati oleh kelompok minoritas agama, termasuk kelompok minoritas dalam suatu agama. Para pemeluk agama-agama minoritas, seperti, kaum Bahai, tetap diperlakukan secara khusus/berbeda atau didiskriminasi oleh negara. Sejumlah daerah juga memberlakukan perda bermuatan syariah yang sangat bertentangan dengan konsep penghormatan kepada hak asasi manusia dan UUD 1945 pasal 29 yang menjamin kebebasan.setiap warga negara dalam memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.

Demikian pula kelompok minoritas dalam agama, misalnya Ahmadiyah terus mengalami diskriminasi dan pengawasan oleh negara. Bukan hanya itu, sebagian penganut Ahmadiyah juga sempat menjadi korban dari tindakan anarkis yang dilakukan oleh sejumlah oknum dari organisasi masyarakat tertentu. Selain itu, kelompok minoritas politik, seperti, mantan tahanan/narapidana politik PKI atau yang didakwa anggota atau simpatisan PKI dan partai-partai kiri terus mengalami pengingkaran hak-hak politik mereka oleh negara.

Upaya Komnas HAM untuk mengungkap pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi sebagai buntut dari Peristiwa G30S juga selalu menemui jalan buntu dan menghadapi berbagai ancaman dari kelompok militer dan sejumlah organisasi massa. Sejumlah teror dan kecaman, juga demonstrasi telah diarahkan kepada Komnas HAM dan para komisioner sehubungan dengan pembentukan Tim Ad Hoc Kejahatan 1965.

Kebebasan politik yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia ternyata juga tak diimbangi dengan perlindungan hukum yang semestinya bagi hak-hak sipil, seperti, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak atas pemeriksaan yang adil dan proses hukum yang semestinya, hak atas pengakuan pribadi di depan hukum, dan larangan atas propaganda untuk perang dan hasutan kebencian. Dari berbagai daerah, seperti, Poso, Lombok, Papua, juga Jakarta, dan tempat-tempat lain di Indonesia, dilaporkan masih terjadi kekerasan horisontal yang melibatkan unsur-unsur polisi dan militer. Penganiayaan dilaporkan masih terus di alami oleh kelompok-kelompok masyarakat, seperti, buruh, petani, masyarakat adat, kelompok minoritas agama, dan para mahasiswa.

Hal yang memprihatinkan, seringkali dalam peristiwa kekerasan horisontal, aparat keamanan seolah-olah tidak berdaya melindungi kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kekerasan tersebut. Laporan-laporan HAM yang dikeluarkan oleh LSM dan PBB menyatakan, penyiksaan masih terus terjadi di pusat-pusat penahanan di kepolisian. Selama hampir dua belas tahun terakhir ini, sistem hukum dan jajaran aparaturnya, seperti, polisi, jaksa, dan hakim tidak mampu menjawab secara semestinya kasus-kasus kekerasan horisontal dan vertikal yang melibatkan aparat polisi dan atau tentara.

Kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti, kasus pembunuhan, penculikan, penahanan sewenang-wenang terhadap ratusan ribu orang yang disangka mempunyai kaitan dengan PKI, dan beberapa kasus lainnya, sampai hari ini belum memperoleh penanganan yang adil. Sebagian dari mereka yang diduga kuat terlibat melakukan pelanggaran HAM berat (kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) masih ada yang bebas berkeliaran tanpa pernah tersentuh oleh hukum.

Para pelaku pelanggaran HAM yang diajukan ke pengadilan, umumnya dikenakan pasal pidana ringan, misalnya kasus penembakan para petani oleh oknum polisi, di Manggarai, biasanya para terdakwa itu akan dikenakan pasal pidana ringan, dan akhirnya dikenakan hukuman ringan, antara 1 tahun, 2 tahun, atau beberapa bulan saja, atau bahkan dibebaskan sama sekali, seperti, dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur pasca jajak pendapat 1999, dan kasus Tanjung Priok 1984.

Hal inilah yang kemudian menjadi budaya pembiaran (culture of impunity) yang terus merasuki sistem hukum dan aparaturnya, seperti polisi, jaksa dan hakim, terutama ketika aparat penegak hukum harus menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan polisi dan tentara. Budaya pembiaran inilah yang menghambat setiap upaya penegakan hukum. Budaya impunity itu bila dibiarkan terus berkembang dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan menghancurkan kedaulatan hukum, dan pada gilirannya akan menghancurkan sistem demokrasi di Indonesia.

Kejahatan terorisme yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai Jemaah Islamiyah telah menimbulkan korban, berupa hilangnya nyawa manusia, dan hancurnya harta benda miliknya. Kejahatan terorisme telah menimbulkan rasa takut dan tidak aman yang relatif luas di kalangan masyarakat sipil. Pada sisi yang lain kejahatan terorisme di Indonesia telah mengundang lahirnya UU Anti-Kejahatan Terorisme yang mengesampingkan UU Hukum Acara Pidana biasa.

Di bawah UU Anti Kejahatan Terorisme itu, polisi dengan mengesampingkan perlindungan hak sipil yang diatur di bawah hukum acara pidana biasa, dengan mudah dapat melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan pemeriksaan terhadap siapa saja yang diduga menjadi bagian dari jaringan aktivitas terorisme. Pelaksanaan UU baru ini telah memberikan dampak buruk bagi hak-hak sipil meskipun belum tentu berdosa, namun karena dicurigai mempunyai hubungan dengan pelaku kejahatan terorisme, bisa mengalami penangkapan, penahanan, kekerasan, penyiksaan, dan pemeriksaan. Keadaan ini jelas memperburuk kondisi hak sipil dan politik. Karena itu, Komnas HAM bersama Komnas-HAM se Asia Pasifik, mendesak agar negara-negara Asia Pasifik tetap tegas dalam memberantas kejahatan terorisme, namun pemberantasan kejahatan itu harus dilakukan dengan mengindahkan hukum HAM.





HAM bukanlah slogan melulu. Kita udah ngerti banyak tentang ini dari para narasumber dari pendapat para pakar. Aku cuma pingin garis bawahi . Setelah kita membaca dan begitu baiknya istilah , dijelaskan detail sekarang mari kita wujud nyatakan di bumi Indonesia tercinta ini. Saya yakin Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dimata dunia dan di surga.

Pengertian, Macam dan Jenis Hak Asasi Manusia / HAM yang Berlaku Umum Global - Pelajaran Ilmu PPKN / PMP Indonesia

Pengertian dan Definisi HAM :

HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

Konsep Hak Asasi Manusia dalam UU. Nomor 39 Tahun 1999: Telaah dalam Perspektif Islam
Catatan Pembuka
Dewasa ini hak asasi manusia tidak lagi dipandang sekadar sebagai perwujudan paham individualisme dan liberalisme seperti dahulu. Hak asasi manusis lebih dipahami secara humanistik sebagai hak-hak yang inheren dengan harkat martabat kemanusiaan, apa pun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin  dan pekerjaannya. Konsep tentang hak asasi manusia dalam konteks modern dilatarbelakangi oleh pembacaan yang lebih manusiawi tersebut, sehingga konsep HAM diartikan sebagai berikut:
“Human rights could generally be defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings”
Dengan pemahaman seperti itu, konsep hak asasi manusia disifatkan sebagai suatu common standard of achivement for all people and all nations, yaitu sebagai tolok ukur bersama tentang prestasi kemanusiaan yang perlu dicapai oleh seluruh masyarakat dan negara di dunia.
Pada tataran internasional, wacana hak asasi manusia telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sejak diproklamirkannya The Universal Declaration of Human Right tahun 1948, telah tercatat dua tonggak historis lainnya dalam petualangan penegakan hak asasi manusia internasional.  Pertama, diterimanya dua kovenan (covenant) PBB, yaitu yang  mengenai Hak Sipil dan Hak Politik serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dua kovenan itu sudah dipemaklumkan sejak tahun 1966, namun baru berlaku sepuluh tahun kemudian setelah diratifikasi tiga puluh lima negara anggota PBB. Kedua, diterimanya Deklarasi Wina beserta Program Aksinya oleh para wakil dari 171 negara pada tanggal 25 Juni 1993 dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia PBB di Wina, Austria. Deklarasi yang kedua ini merupakan kompromi antar visi negara-negara di Barat dengan pandangan negara-negara berkembang dalam penegakan hak asasi manusia.
Di Indonesia, diskursus tetang penegakan hak asasi manusia juga tidak kalah gencarnya. Keseriusan pemerintah di bidang HAM paling tidak bermula pada tahun 1997, yaitu semenjak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) didirikan setelah diselenggarakannya Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Sejak itulah tema tentang penegakan HAM di Indonesia menjadi pemebicran yang serius dan berkesinambungan. Kesinambungan itu berwujud pada usaha untuk mendudukkan persoalan HAM dalam kerangka budaya dan sistem politik nasioanal sampai pada tingkat implementasi untuk membentuk jaringan kerjsama guna menegakkan penghormatan dan perlindungan HAM tersebut di Indonesia. Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh internasional yang menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu isu global, namun penegakan hak asasi manusia di Indonesia lebih merupakan hasil dinamika intrenal yang merespon gejala internasional secara positif. 
Adalah pada tahun 1999 lah, Indonesai memiliki sistem hukum yang rigid dan jelas dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan pelangaran HAM di Indonesia. Diberlakukannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kendati agak terlambat merupakan langkah progresif dinamis yang patut dihargai dalam merespon isu internasional di bidang hak asasi manusia walaupun masih perlu dilihat dan diteliti lebih jauh isinya.
Beberapa pertanyaan mendasar muncul pada waktu itu sampai saat ini. Bagaimana konsep HAM menurut undang-undang tersebut? Sejauh mana memiliki titik relevansi dengan dinamisasi masyarakat? Bagaimana penegakannya selama ini? Seberapa besar ia mengakomodasi nilai-nilai universal?   
Tulisan singkat ini tidak akan menjawab semua persoalan di atas, tetapi hanya akan mencoba menelisik persoalan HAM di Indonesia dengan melakukan pengujian terhadap instrumen UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM secara sederhana dan melakukan studi komparatif dengan konsep HAM dalam Islam mengingat keberadaan Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim.  Pembahasan akan diawali dengan membeberkan konsep HAM dalam kerangka UU. No. 39 tahun 1999, dilanjutkan dengan HAM dalam perspektif Islam dan diakhiri dengan analisis berupa kajian UU tentang HAM ditinjau dalam perspektif Islam.
Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999
Hak Asasi Manusia  adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia  adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998.
Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari:
1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas.
3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif  oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam
Masalah hak asasi manusia menurut para sarjana yang melakukan penelitian pemikiran Barat tentag negara dan hukum, berpendapat bahwa secara berurut tonggak-tonggak pemikiran dan pengaturan hak assasi manusia mulai dari Magna Charta (Piagam Agung 1215), yaitu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja John dari Inggris kepada bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan raja tersebut. Kedua adalah Bill of Right (Undang-Undang Hak 1689) suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris, setelah dalam tahun 1688 melakukan rrevolusi tak berdarah (the glorius revolution) dan berhasil melakukan perlawanan terhadap raja James II. Menyusul kemudian The American eclaration of Indepencence of 1776, dibarengi dengan Virginia Declaration of Right of 1776. seterusnya Declaration des droits de I’homme et du citoyen (pernyataan hak-hak manusai dan warga negara, 1789) naskah yang dicetuskan pada awal revolusi Perancis sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan raja dengan kekuasaan absolut. Selanjutnya Bill of Right (UU Hak), disusun oleh rakyat Amerika Serikatr pada tahun 1789, bersamaan waktunya dengan revolusi Perancis, kemudain naskah tersebut dimasukkan atau doitambahkan sebagai bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika Serikat pada tahun 1791. 
Beberapa pemikiran tentang hak asasi manusia pada abad ke 17 dan 18 di atas hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja, misalnya persamaan hak, kebebasan, hak memilih dan sebagainya. Sedangkan pada abad ke 20, ruang lingkup hak asasi manusia diperlebar ke wilayah ekonomi, sosial, dan budaya. 
Berdasar naskah-naskah di atas, Franklin Delano Roosevelt (Presiden Amerika ke-32) meringkaskan paling tidak terdapat Empat Kebebasan (The Four Freedoms) yang harus diakui, yakni (1) freedom of speech (kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat, (2) freedom of religion (kebebasan beragama), (3) freedom from want (kebebasan dari kemiskinan), dan (4) freedom from fear (kebebasan dari rasa takut).  
Jika dilihat lebih seksama, semua yang termasuk isi utama dari naskah-naskah politik di atas, yang berkaitan dengan hak asasi manusia, terdapat dalam al-Qur’an, sedangkan Empat Kebebsan terdapat dalam Konstitusi Madinah, baik tersirat maupun tersurat. Kendati demikian, Konstitusi Madinah yang sudah tersurat pada tahun 622 (abad ke-7 M) dan al-Qur’an sudah selesai dikumpulkan dan ditulis sebagai kitab pada tahun 25 H (tahun 647 M) tetapi ternyata dalam studi tentang hak-hak asasi manusia oleh kebanyakan para sarjana tidak disinggung sama sekali. Padahal kalau dibandingkan dengan naskah-naskah di atas, semuanya tertinggal tujuh sampai tiga belas abad di belakang Konstitusi Madinah dan al-Qur’an.
Secara historis, berbicara tentang konsep HAM menurut Islam dapat dilihat dari isi Piagam Madinah. Pada alenia awal yang merupakan “Pembukaan” tertulis sebagai berikut:
بسم الله الرحمن الرحيم. هذا كتاب من محمد النبي صلى الله عليه وسلم بين المؤمنين والمسلمين من قريش و يثرب و من تبعهم فلحق بهم وجاهد معهم
Terdapat sedikitnya lima makna pokok kandungan alenia tersebut, yaitu pertama, penempatan nama Allah SWT pada posisi terata, kedua, perjanjian masyarakat (social contract) tertulis, ketiga, kemajemukan peserta, keempat, keanggotaan terbuka (open membership), dan kelima, persatuan dalam ke-bhineka-an (unity in diversity).
Hak asasi manusia yang terkandung dalam Piagam Madinah dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu hak untuk hidup, kebebasan, dan hak mencari kebahagiaan.
1. Hak untuk hidup
Pasal 14 mencantumkan larangan pembunuhan terhadap orang mukmin untuk kepentingan orang kafir dan tidak boleh membantu orang kafir untuk membunuh orang mukmin. Bahkan pada pasal 21 memberikan ancaman pidana mati bagi pembunuh kecuali bila pembunuh tersebut dimaafkan oleh keluarga korban.
2. Kebebasan
Dalam konteks ini, kebebasan dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
a. Kebebasan mengeluarkan pendapat
Musyawarah merupakan salah satu media yang diatur dalam Islam dalam menyelesaikan perkara yang sekaligus merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat.
b. Kebebasan beragama
Kebebasan memeluk agama masing-masing bagi kaum Yahudi dan kaum Muslim tertera di dalam pasal 25.
c. Kebebasan dari kemiskinan
Kebebasan ini harus diatasi secara bersama, tolong menolong serta saling berbuat kebaikan terutama terhadap kaum yang lemah. Di dalam Konstitusi Madinah upaya untuk hal ini adalah upaya kolektif bukan usaha individual seperti dalam pandanagn Barat.
d. Kebebasan dari rasa takut
Larangan melakukan pembunuhan, ancaman pidana mati bagi pelaku, keharusan hidup bertetangga secara rukun dan dami, jaminan keamanan bagi yang akan keluar dari serta akan tinggal di Madinah merupakan bukti dari kebebasan ini.
3. Hak mencari kebahagiaan
Dalam Piagam Madinah, seperti diulas sebelumnya, meletakkan nama Allah SWT pada posisi paling atas, maka makna kebahagiaan itu bukan hanya semata-mata karena kecukupan materi akan tetapi juga harus berbarengan dengan ketenangan batin. 
Relevansi Konsep HAM dalam UU No. 39 tahun 1999 dan Islam
Walaupun tidak sampai pada tingkatan studi kritis dan dengan mencoba melakukan komparasi secara sederhana antara konsep hak asasi manusia yang tertuang dalam UU No. 39 tahun 1999 dengan konsep HAM dalam Islam melalui pendekatan relevansional maka studi ini bermaksud menjawab pertanyaan sejauh mana relevansi antar kedua konsep tersebut.
Untuk melakukan kajian ini penulis membagi ke dalam beberapa domain, antara lain Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan, kesejahteraan bersama, 
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Piagam Madinah dimulai dengan kalimat basmalah. Dalam pasal 22 ditegaskan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak akan menolong pelaku kejahatan dan juga tidak akan membelanya. Bilamana terjadi peristiwa ataun perselisihan di antara pendukung Piagam Madinah yang dikhawatirkaan akan menimbulkan bahaya dan kerusakan, penyelesaiannya menurut ketentuan Allah, demikian ditetpakan dalam pasal 42.
Sedangkan dalam UU. No. 39 tahun 1999 tepatnya pada bagian “Ketentuan Umum” point 1 disebutkan bahwa hak asasi manusia merupakan sebuah hak yang melekat pada manusia dalam eksistensinya sebagai ciptaan Tuhan dan merupakan anugerah-Nya. Artinya persoalan penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja menempatkan manusia pada posisi sentral (antropoSentris) akan tetapi terdapat dimensi transendental yang juga harus diperhatikan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep penegakan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam terminologi Islam disebut tauhid tertera baik dalam Piagam Madinah maupun UU tentang HAM.  
2. Keadilan
Keadilan tercantum secara tegas baik di dalam Islam yang tertera dalam al-Qur’an maupun dalam Piagam Madinah maupun di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan konstitusi mana saja di dunia ini. Bahkan kata keadilan ini bergema pada setiap ada persekutuan sosial, tidak terkecuali dalam suatu keluarga. Keadilan, menurut Daniel Webster, adalah kebutuhan manusia yang paling luhur.
Pasal 17, 18, dan 19 UU No. 39 tahun 1999 secara umum menetapkan bahwa bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk memperoleh keadilan. Tentu saja cara mmeperolehnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan melalui mekanisme yang telah diatur. Semua perkara, kasus, dan sengketa yang terjadi dalam masyarakat harus diselesaikan melalui jalur hukum.
Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keadilan, keamanan dan ketertiban terpelihara. Sedangkan dalam konsepsi Islam, berbuat adil merupakan aktivitas yang dekat dengan takwa.
3. Kesejahteraan bersama
Dalam pasal 36 UU No. 39 tahun 1999 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memiliki demi pengembangan dirinya dengan cara yang tidak melanggar hukum. Lebih jauh lagi dalam pasal 27 (2) UUD 1945 ditetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Hak untuk mendapatkan kesejahteraan dalam Islam merupakan salah satu yang diutamakan. Ajaran zakat, infaq dan sodaqoh merupakan bentuk kepedulian Islam terhdapa terciptanya kesejahteraan bersama dan kebebasan dari kemiskinan. Selain itu, Islam juga sangat mengutamakan kebersamaan dan menganjurkan tolong menolong terutama terhadap kaum miskin dan lemah dan oleh karena itu, Islam mengharamkan riba.
Catatan Penutup
Berdasar penelusuran historik, M. Mahfud MD menulis bahwa ada tiga konsepsi dasar yang harus dipenuhi untuk membangun negara yang sejahtera, yaitu perlindungan HAM, demokrasi, dan negara hukum. Ketiga konsep ini lahir dari paham yang menolak kekuasaan absolut menyusul Renaissance yang bergelora di dunia Barat sejak abad XIII.
Pemerintah berkuasa karena rakyat memberi kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, agar negara dapat memberi perlindungan atas Hak-hak Asasi Manusia (HAM). UU. No. 39 tahun 1999 bisa jadi merupakan manifestasi dari pemberian perlindungan tersebut. Jika ditelusuri ternyata konsep HAM dalam UU No. 39 tahun 1999 relevan dengan konsep HAM dalam Islam baik yang tertuang dalam al-Qur’an maupun Piagam Madinah. Bentuk relevansinya terletak pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan, dan kesejahteraan bersama.
Kendati demikian, pertanyaan kritis yang selalu patut dilayangkan kepada pemerintah adalah bagaimana penegakan HAM pada tataran aplikatif. Serentetan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM masih saja terjadi di Indonesia sampai sekarang. Nampaknya pembicaraan tentang hak asasi manusia hanya berhenti pada wilayah diskursif di forum-forum ilmiah tanpa pernah ditindaklanjuti secara nyata.
Semoga dapat ber(di)manfaat(kan). Selamat berdiskusi!!!
Daftar Bacaan
Alim, Muhammad. 2001. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstiitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta: UII Press.
Atmasasmita, Romli. 2000. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: PT. Refika Aditama
Bahar, Saafroedin. 1997. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Komnas HAM. 1998. Membangun Jaringan Kerjasama Hak Asasi Manusia. Jakarta: Komnas HAM.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2000. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. Jakarta: ELSAM.
Muzaffar, Chandra. 1995. Hak Asasi Manusia dalam tata Dunia Baru (Menggugat Dominasi Global Barat). Bandung:  Mizan.
Undang-Undang RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia