SEJAUH mata memandang di dataran Bena seluas sekitar 3.500 hektar terlihat tanaman padi tumbuh subur menguning dengan bulir padi bernas di atas hamparan persawahan.
Hamparan persawahan Bena ini secara topografi berada di lima wilayah otonom desa di Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), yakni Desa Pollo, Desa Bena, Desa Kiukbaat, Desa Batnun dan Desa Linamnutu. Wilayah kecamatan ini mencakup ada 10 desa dan lima desa lainnya, yakni Desa Oebelo, Noemuke Oekiu, Mio dan Desa Enonetem.
Secara topografi wilayah Kecamatan Amanuban Selatan di timur berbatasan dengan Kecamatan Kualin, barat berbatasan dengan Kecamatan Batu Putih, di utara dengan wilayah Kecamatan Noebaba dan di selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kupang dan pesisir pantai selatan.
Roda kehidupan masyarakat di dataran Bena sudah menggeliat sejak subuh hingga mentari tenggelam di ufuk barat. Hal ini dikarenakan masyarakat di daerah ini hampir seratus persen berprofesi sebagai petani. Karena itu, denyut nadi kehidupan masyarakat di dataran Bena lebih banyak "dihabiskan" untuk lahan pertanian (sawah).
Sementara luapan air mengalir deras dari pintu air
Bendung Linamnutu masuk ke saluran primer. Aliran air terbagi pada sejumlah saluran sekunder yang ada di dataran persawahan ini hingga ke bedeng sawah milik petani.
Sejauh mata memandang, umumnya daerah ini belum ditopang dengan pembangunan saluran tersier yang memadai untuk mensuplai kebutuhan air irigasi ke bedeng/pematang sawah milik petani.
Tanaman pohon pisang, ubi, kelapa, mangga, bahkan tanaman sayur mayur seperti tomat, lombok, sayur sawi, kangkung jagung, terlihat tumbuh subur di halaman rumah petani sepanjang ruas jalan masuk di Linamnutu.
Namun sejumlah kendala masih menyelimuti masyarakat petani di wilayah dataran persawahan Bena akibat keterbatasan sarana pendukung produksi pertanian seperti alat traktor untuk mengolah lahan sawah. Hal ini dikarenakan wilayah Desa Linamnutu dengan luas 17 kilometer persegi, atau sekitar 817 hektar lahan persawahan yang ada di desa ini namun lahan yang baru diolah menjadi persawahan produktif baru sekitar 400 hektar. Kondisi ini membuat banyak lahan produktif yang ada di daerah ini belum diolah masyarakat petani. Sudah tentu hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah untuk membangun dan menata hamparan pertanian di Bena ini menjadi lebih baik.
"Hampir seratus persen masyarakat di sini petani. Luas sawah masyarakat di Linamnutu sekitar 400 hektar lebih yang sudah diolah dan ditanami padi. Namun yang masih menjadi kendala petani di desa ini karena cuma didukung tujuh hand traktor. Hal ini menjadi kendala serius bagi petani di daerah ini karena mereka sangat kesulitan untuk mengolah lahannya secara optimal," keluh Kepala Desa (Kades) Linamnutu, Agustinus Nome, saat ditemui di rumah dinas kepala desa di depan Kantor Desa Linamnutu, Sabtu (6/11/2010) siang.
Belum lagi sejumlah kendala lainnya, misalnya jalan masuk ke Desa Linamnutu yang belum diaspal, padahal daerah ini adalah daerah potensi pertanian yang menjadi salah satu daerah penopang pangan untuk masyarakat di Kabupaten TTS. Hal ini dikarenakan hasil panen padi serta tanaman sayur mayur dan tanaman pertanian lainnya dari daerah ini umumnya dijual ke SoE, Ibu kota Kabupaten TTS.
Dengan kondisi jalan masuk 10,5 km ke Desa Linamnutu yang belum diaspal membuat ongkos non produksi pertanian di daerah ini menjadi mahal.
Selain jalan masuk ke desa ini yang rusak sepanjang sekitar 10,5 km, petani di daerah ini pun harus melintasi ruas jalan propinsi sepanjang 30 km lebih serta ruas jalan propinsi sepanjang 35 km ke arah timur untuk bisa sampai ke pasar di SoE untuk menjual hasil pertaniannya.
Karena itu, jika hasil pertanian masyarakat petani di daerah ini jika dijual ke Pasar SoE maka hasilnya tidak seberapa karena petani harus membayar ongkos/biaya ojek yang cukup mahal.
"Secara matematis jika kita hitung hasil panen padi di Desa Linamnutu, setiap hektar menghasilkan 5 ton gabah padi dikalikan 400 ha lahan sawah maka setiap kali panen petani menghasilkan sekitar 6.000 ton gabah. Namun akibat kondisi ruas jalan masuk ke desa ini yang buruk membuat ongkos transportasi untuk menjual hasil petani sangat mahal," keluh Kades Linamnutu, Agustinus Nome
Kondisi sarana jalan yang buruk ini juga menyebabkan angkutan umum (angkutan pedesaan) enggan masuk ke desa ini guna mengangkut hasil. Akibatnya, petani yang ingin menjual hasil ke Pasar SoE harus mengeluarkan biaya Rp 200 ribu untuk membayar jasa ojek pulang- pergi.
Para petani di wilayah ini mengaku sudah sering mengusulkan dalam musrenbangdes hingga musyawarah perencanaan pembangunan tingkat kecamatan/kabupaten agar ruas jalan masuk ke Desa Linamnutu diperhatikan pemerintah. Namun hal ini tidak pernah ada perhatian dan realisasi sampai saat ini.
"Banyak calon bupati juga calon gubenur, dan calon anggota dewan mau dapat suara pasti datang jual obat kepada masyarakat di Desa Linamnutu. Mereka selalu janji akan memperhatian ruas jalan masuk ke desa ini.
Namun saat mereka sudah berkuasa mereka lupa janji dan janji tinggal janji. Janji politikus seperti tikus yang mencari makan lalu pergi begitu saja tanpa ada beban. Tapi sekarang masyarakat sudah sangat mengerti soal tipu muslihat itu," kata Agustinus Nome.
Apa yang dikeluhkan pimpinan Desa Linamnutu ini merupakan akumulasi kekecewaan yang masyarakat di desa ini. Mereka sudah jenuh dengan janji politik dari calon politikus yang cuma mau mengejar kekuasaan.
Namun kekecewaan warga di desa ini sedikit terobati karena saat ini pemerintah pusat melalui Departemen PU, khususnya SNVT PPSDA Nusa Tenggara (NT) II, PPK Irigasi I Wilayah Timor yang sudah intervensi melalui proyek pembangunan di daerah ini untuk menata hamparan Persawahan Bena seluas 3.500 meter dengan dibangunnya saluran irigasi permanen, khususnya saluran primer, saluran sekunder dengan sistem multi year dari dana loan dan dana APBN. Pemerintah pusat juga merahabilitasi Bendung Linamnutu agar potensi pertanian di dataran ini bisa digarap secara optimal. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar